Sunday 4 July 2010

Cerita di Sebuah Planet nun Jauh di Sana



Sekarang, tahun 2017, bulan Maret, tanggal 5, hari Sabtu. Orang-orang sedang berakhir pekan dan bersantai, tetapi tidak demikian untuk beberapa lelaki paruh baya yang berkumpul di Rumah Kebab. Mereka tampak sedang membicarakan hal yang serius. Saking seriusnya jarak mereka duduk satu sama lain hampir tidak ada, rapat.


"Pemimpin kita mewasiatkan untuk menjadikan jendral baru itu sebagai penggantinya.", ujar seseorang di antara mereka.


"Sssshhh! Sabarlah sedikit, pelankan suaramu dan jaga bahasamu...! Yang jelas, itu sudah keputusan 'Bapak' dan tidak perlu lagi kita bicarakan, apalagi di tempat seperti ini. Percayalah, 'Bapak' bukan orang yang gegabah.", jawab seorang lainnya.

"Bagaimana mungkin, jendral itu orang dekat presiden. Ini seperti menculik anak singa dari kawanannya dan menyuruhnya makan rumput!", balas seseorang yang lain.

"'Bapak' lebih tahu tentang jenderal itu daripada kau, beliau sudah mengenalnya cukup lama."

"Betulkah? Sebagai apa 'Bapak' mengenalnya? Aku tidak pernah dengar beliau mengenal seorang jenderal."

"Jenderal itu dahulu sering datang kepada beliau untuk belajar beladiri, seni perang, dan tata negara . Singkatnya, beliau adalah gurunya."

"Menarik juga, sekarang aku penasaran bagaimana cara kalian mengajak dia bergabung."

"Terus terang kawan, mengapa kalian memilih untuk menggunjing keputusan 'Bapak' di tempat seperti ini dan mengajakku terlibat? Kalau kalian ragu apakah kalian pikir 'Bapak' tidak akan memberi jawaban jika kita tanyakan langsung? Sudah banyak pengkhianatan dimulai dari keraguan seperti ini, apa kalian mau menambah daftar nama itu?", ujar seorang lain dengan nada kesal.

Sejenak sekelompok laki-laki itu terdiam, tampak ketakutan di wajah mereka seolah tersadar dari sebuah kelalaian.

"Kau benar saudaraku, hal ini bukanlah sesuatu untuk dibicarakan di tempat seperti ini, maafkan kelalaian kami.", ujar seseorang memecah ketegangan.

"Aku tidak akan memaafkan kalian karena kesalahan kalian bukan padaku, ingatlah bahwa Tuhan mengawasi kalian. Dan satu hal lagi, jangan mengajakku untuk ikut campur dalam keraguan kalian atas keputusan 'Bapak'. Kuperingatkan kalian, salah seorang di pertemuan ini adalah pengkhianat yang menebar keraguan di antara kita dan boleh jadi aku tidak lagi hidup esok hari karena dihabisi orang ini. Aku tidak takut, begitu pula orang-orang yang setia pada perjuangan ini tidak akan goyah atas fitnahmu. Aku tinggalkan pertemuan ini, semoga keselamatan menaungi kalian.", balas seseorang tersebut.

"Atasmu juga saudaraku.", jawab lainnya bersamaan

***
Dahulu, Tahun 1905, sebuah negara besar Maghorib Selatan terpecah belah menjadi 8 negara independen. Setelah sebelumnya bersatu selama 1500 tahun. Bahkan 2000 tahun lalu seluruh benua Maghorib, termasuk Regional Utara dan Pulau Selatan, bersatu di bawah satu bendera. 

Kini negara-negara independen membentang dari barat ke timur : Pantiav, Habn, Zassiv, Inga-ish, dan Idunishl; juga di pulau selatan : Yapqir, Unlan, dan Karvtuza.

*** 
Idunish, negara sekuler paling timur di benua Maghorib, sekarang dipimpin oleh Presiden Hussag Assawonthar Natrito atau biasa dipanggil Presiden HAN (diambil dari huruf-huruf awal namanya). Pemilihannya sebagai presiden tergolong demokratis, dimana pemilu yang diikuti 30 juta rakyat Idunish dilakukan untuk memilihnya. 

Namun dalam masa pemerintahannya, HAN terlalu dekat dengan pihak luar negeri, terutama Kesultanan Habn. Selain itu, HAN juga memprakarsai pembelian robot tempur dari Masyariq, yang dapat menggantikan tugas polisi dan tentara. Hal itu mememicu kontroversi berkepanjangan dalam pemerintahannya.

Sebagian kalangan di Idunish akhir-akhir ini mencium keberadaan gerakan berideologi religius yang dianggap berpotensi akan mengambil alih kekuasaan. Pernah suatu saat terjadi konflik berdarah di daerah barat Idunish yang berbatasan dengan negara Zassiv, yang membuat pemerintah makin waspada, bahkan terlalu waspada, terhadap bibit-bibit gerakan pemberontakan.

Seorang jenderal muda yang baru naik pangkat sedang ramai dibicarakan. Dialah Imam Reiz Fav. Usianya baru menginjak 30 tahun saat menerima kenaikan pangkat jenderal langsung dari presiden. 

Apa yang menyebabkan karirnya di dunia militer begitu melesat ? Hal ini tidak lepas dari kepiawaiannya membasmi berbagai gerakan pemberontakan yang meresahkan pemerintah. Banyak kalangan memprediksi jika suatu saat dia memimpin negeri ini, akan terciptalah stabilitas regional yang langgeng.

Ya, memang dialah yang pada akhirnya membuat Idunish menjadi lebih baik. Namun kebaikan yang bagaimana yang ia bina? kita tunggu kelanjutannya...

1 comment:

  1. tambahin dikit...

    "Pemimpin kita mewasiatkan untuk menjadikan jendral baru itu sebagai penggantinya.", ujar seseorang di antara mereka.

    "Sssshhh! Sabarlah sedikit, pelankan suaramu dan jaga bahasamu...! Yang jelas, itu sudah keputusan 'Bapak' dan tidak perlu lagi kita bicarakan, apalagi di tempat seperti ini. Percayalah, 'Bapak' bukan orang yang gegabah.", jawab seorang lainnya.

    "Bagaimana mungkin, jendral itu orang dekat presiden. Ini seperti menculik anak singa dari kawanannya dan menyuruhnya makan rumput!", balas seseorang yang lain.

    "'Bapak' lebih tahu tentang jenderal itu daripada kau, beliau sudah mengenalnya cukup lama."

    "Betulkah? Sebagai apa 'Bapak' mengenalnya? Aku tidak pernah dengar beliau mengenal seorang jenderal."

    "Jenderal itu dahulu sering datang kepada beliau untuk belajar beladiri, seni perang, dan tata negara . Singkatnya, beliau adalah gurunya."

    "Menarik juga, sekarang aku penasaran bagaimana cara kalian mengajak dia bergabung."

    "Terus terang kawan, mengapa kalian memilih untuk menggunjing keputusan 'Bapak' di tempat seperti ini dan mengajakku terlibat? Kalau kalian ragu apakah kalian pikir 'Bapak' tidak akan memberi jawaban jika kita tanyakan langsung? Sudah banyak pengkhianatan dimulai dari keraguan seperti ini, apa kalian mau menambah daftar nama itu?", ujar seorang lain dengan nada kesal

    Sejenak sekelompok laki-laki itu terdiam, tampak ketakutan di wajah mereka seolah tersadar dari sebuah kelalaian.

    "Kau benar saudaraku, hal ini bukanlah sesuatu untuk dibicarakan di tempat seperti ini, maafkan kelalaian kami.", ujar seseorang memecah ketegangan.

    "Aku tidak akan memaafkan kalian karena kesalahan kalian bukan padaku, ingatlah bahwa Tuhan mengawasi kalian. Dan satu hal lagi, jangan mengajakku untuk ikut campur dalam keraguan kalian atas keputusan 'Bapak'. Kuperingatkan kalian, salah seorang di pertemuan ini adalah pengkhianat yang menebar keraguan di antara kita dan boleh jadi aku tidak lagi hidup esok hari karena dihabisi orang ini. Aku tidak takut, begitu pula orang-orang yang setia pada perjuangan ini tidak akan goyah atas fitnahmu. Aku tinggalkan pertemuan ini, semoga keselamatan menaungi kalian.", balas seseorang tersebut.

    "Atasmu juga saudaraku.", jawab lainnya bersamaan

    ...

    ReplyDelete